WELCOME TO MY BLOG

Minggu, 03 November 2013

Farmakognosi - Simplisia

Amylum Manihot

Amylum Marantae
Amylum Maydis
Amylum Solani
Calami Rhizoma
Languatis Rhizoma
Languatis Rhizoma ( Amylum )
Curcumae Rhizoma
Zingiberis Rhizoma ( Amylum )
Zingiberis Rhizoma
Liquiritae Radix (tapal kuda)
Vetiveriae zizanoidi Radix
Vetiveriae zizanoidi Radix
Mirabilis Tubera
Alstoniae Cortex
Alyxiae Cortex
Alyxiae Cortex
Burmanni Cortex

Cinchonae Cortex

Aurantii Pericarpium
Granati Pericarpium
Santali Lignum
Sappan Lignum
Abri Folium
Blumeae Folium
Guazumae Folium
Orthosiphonis Folium (penebalan jala)
Orthosiphonis Folium (rambut penutup)
Psidii Folium
Sericocalysis Folium
Theae Folium
Sennae Folium
Thymi Herba
Caryophylli Flos (Parenkim dengan kelenjar minyak)
Pyrethri Flos (Polen, seperti durian)
Cardamomi Fructus (epidermis testa)
Cardamomi Fructus (Perisperm )
Coriandri Fructus
Cubebae Fructus (sel batu)
Piperis nigri Fructus
Arecae Semen
Colae Semen

Mikrobiologi-Tortora 10th edition


Jumat, 01 November 2013

LAPORAN  RESMI
PRAKTIKUM  FARMASI  FISIKA  II
Emulsifikasi



DISUSUN OLEH :
Ade Afriyani (2012210002)
   Adyka Putra
Iskandar (2012210008)
  
Agus Susanto (2012210012)
Ajeng Prima (2012210016)
  Alvera Kolesi (2012210019)

kelas/kelompok : E 1.2

Fakultas Farmasi
Universitas Pancasila
2013
I.                   JUDUL PERCOBAAN :
Emulsifikasi

II.                TUJUAN PERCOBAAN :
1.      Menghitung jumlah emulgator golongan surfaktan yang digunakan dalam pembuatan emulsi.
2.      Membuat emulsi dengan menggunakan golongan surfaktan.
3.      Mengevaluasi ketidakstabilan suatu emulsi .
4.      Menentukan HLB butuh minyak yang digunakan dalam pembuatan emulsi.

III.             TEORI PERCOBAAN :
      Emulsi adalah suatu sistem yang tidak stabil secara termodinamik yang mengandung paling sedikit dua fase cair yang tidak bercampur , dimana satu diantaranya didispersikan sebagai bola-bola dalam fase cair lain . Sistem dibuat stabil dengan dengan adanya suatu zat pengemulsi . Berbagai tipe zat pengemulsi akan dibicarakan kemudian dalam bagian ini . Baik fase terdispers atau fase kontinu bisa berkisar dalam konsistensi dari suatu cairan mobil sampai suatu massa setengah padat (semi solid) . Jadi sistem emulsi berkisar dari cairan (lotio) yang mempunyai viskositas relatif rendah sampai salep atau krim , yang merupaka  semisolid . Diameter partikel dari fase terdispers umumnya berkisar dari 0,1 – µm , walaupun partikel terkecil 0,01 µm dan sebesar 100µm bukan tidak biasa dalam beberapa sediaan.
      Tipe Emulsi : Salah satu fase cair dalam suatu emulsi terutama bersifat polar (sebagai contoh : air ), sedangkan lainnya relatif nonpolar ( sebagai contoh : minyak ) . Bila fase minyak didispersikan sebagai bola-bola ke seluruh fase kontinu air , sistem tersebut dikenal sebagai suatu emulsi minyak dalam air (o/w). Bila fase minyak bertindak sebagai fase kontinu, emulsi tersebut dikenal  sebagai produk air dalam minyak (w/o). Emulsi obat untuk pemberian oral biasanya dari tipe  o/w dan membutuhkan penggunaan suatu zat pengemulsi o/w . Zat pengemulsi tipe ini termasuk zat sintetik yang aktif pada permukaan dan bersifat nonionik , akasia , (gom), tragacanth., dan gelatin. Tetapi tidak semua emulsi yang dipergunakan termasuk tipe o/w . Makanan tertentu seperti mentega dan beberapa saus salad merupakan emulsi tipe w/o.
Untuk mengetahui proses terbentuknya emulsi di kenal 4 macam teori yang melihat proses terjadinya emulsi dari sudut pandan yang berbeda. Teori tersebut adalah
1.   Teori tegangan permukaan (Surface Tension)
Molekul memiliki daya tarik-menarik antara molekul yang sejenis yang di sebut daya kohesi. Selain itu molekul juga memiliki daya tarik-menarik antara molekul-molekul yang tidak sejenis, yang disebut daya adesi. Daya kohesi suatu zat selalu sama, sehingga pada permukaan suatu zat cair akan terjadi perbedaan tegangan karena tidak adanya keseimbangan daya kohesi. Tegangan yang terjadi pada permukaan tersebut dinamakan Tegangan permukaan. Dengan cara yang sama dapat dijelaskan terjadinya terjadinya perbedaan tegangan budan batab 2 cairan yang tidak dapat bercampur( immiscisble liquid). Tegangan yang terjadi antar dua cairan tersebut dinamakan tegangan bidang batas (interfacial tension). Semakin tinggi perbedaan tegangan yang terjadi pada bidang mengakibatkan semakin sulitnya kedua zat tersebut untuk bercampur. Tegangan yang terjadi pada air akan bertambah dengan penambahan garam-garam anorganik atau senyawa elektrolit, tetapi akan berkurang dengan penambahan senyawa organik tertentu antara lain sabun. Dalam teori ini dikatan bahwa peambahan emulgator akan menurunkan, menghilangkan tegangan yang terjadi pada bidang batas sehingga antara kedua zat cair tersebut akan mudah bercampur.
2.Teori orietasi bentuk biji (orientasi wedge).
Setiap molekul emulgator dibagi menjadi2 kelompok yakni :
·      Kelompok hidrofilik, yaitu bagian dari emulgator yang suka pada air.
·      Kelompok lipofilik, yaitu bagian yang suka pada minyak.
Masing-masing kelompok akan bergabung dengan zat cair yang disenanginya. Kelompok hidrofil ke dalam air dan kelompok lipofil kedalam minyak. Dengan demikian emulgator seolah-oleh menjadi tali pengikat antara air dan minyak dan antara kedua kelompok tersebut akan membuat suatu keseimbangan.
Setiap jenis emulgator memiliki harga keseimbangan yang bersarnya tidak sama. Harga keseimbangan itu dikenal dengan istilah HLB (hydrophyl lipophyl balance) yaitu angka yang menunjukan perbandingan antara kelompok lipofil dan kelompok hidrofil. Semakin besar harga HLB berarti semakin banyak kelompok yang suka pada air, itu artinya emulgator tersebut lebih mudah larut dalam air dan demikian sebaliknya.
3.   Teori interfacial film
Teori ini mengatakan bahwa emulgator akan di serap pada batas antara air dan minyak, sehingga terbentuk lapisan fil yang akan membungkus partikel fase dispersi. Dengan terbungkusnya partikel tersebut maka usaha antara partikel yang sejenis untuk bergabung menjadi terhalang. Dengan kata lain fase dipersi menjadi stabil. Untuk memberikan stabilitas maksimum pada emulsi ,syarat emulgator yang di pakai adalah :
a.       Dapat membuat lapisan film yang kuat tapi lunak. Jumlahnya cukup untuk menutup semua permukaan partikel fase dispersi
b.      Jumlahnya cukup untuk menutup semua permukaan partikel fase dispersi
c.       Dapat membentuk lapisan film denhan cepat dan dapat menutup semua permukaan partikel denhan segera.
4.   Teori electrik double layer (lapisan listrik rangkap)
5.   Jika minyak terdispersi kedalam air, satu lapis air yang langsung berhubungan dengan permukaan minyak akan bermuatan sejenis, sedangkan lapisan berikutnya akan mempunya muatan yang berlawanan dengan lapisan di depannya. Dengan demikian seolah-olah tiap partikel minyak dilindungu oleh 2 batan glapisan listrik yang saling berlawanan. Benteng tersebut akan menolak setiap usaha dari partikel minyak yang akan mengadakan penggabungan menjadi satu molekul yang besar, karena susunan listrik yang menyekubungi setiap partikel minyak mempunya susunan yang sama. Dengan demikian antara sesama partikelakan tolak-menolak dan stabilitas emulsi akan bertambah. Terjadinya muatan listrik disebabkan oleh sala satu dari ketiga cara dibawah ini
a.       Terjadinya ionisasi dari molekul pada permukaan partikel.
b.      Terjadinnya absorbsi ion oleh partikel dari cairan di sekitarnya
c.       Terjadinya gesekan partikel dengan cairan di sekitarnya
Jenis emulgator
a.       Produk alam, karakternya pada permukaan adalah film multimolekuler.
b.      Zat padat terbagi halus, karakternya pada permukaan adalah solipart.
c.       Surfaktan (anionik, kationik, ionik), semuanya ataupun pada imimnya surfaktan mempunyai harga HLB yang di tetapkan antara 3-6 meghasilkan emulsi A/M, HKB antara 8-18 menghasilkan emulsi M/A.
Cara menentukan tipe emulsi :
a.       Metode zat warna
Kedalam emulsi ditambahkan zat warna tertentu, yang larut dalam air atau minyak.
·         Sudan III   : zat warna merah yang larut dalam minyak tetapi tidak larut dalam air.
·         Methylen blue : zat biru yang larut dalam air tetapi tidak larut dalam minyak
b.      Metode electrical conductivity
Metode ini berdasarkan bahwa air dapat menghantarkan arus listrik sedangkan minyak tidak dapat menghantarkan arus listrik.
c.       Metode pengenceran fase
Setetes emulsi dilihat pada mikroskop dan ditetesi air, bila segera terencerkan makan tipe emulsi adalah M/A dan jika tidak terencerkan maka tipe emulsi adalah A/M.

Ketidakstabilan emulsi :
a.       Floktulasi dan creaming
Pemisahan emulsi menjadi beberapa lapisan cairan, masing masing lapisan menjadi fase dispersi yang berbeda.
b.      Cracking atau breaking
Merupakan pecahnya emulsi, dan bersifat irreversible.
c.       Infersi fase
Berubahnya tipe emulsi minyak dalam air menjadi air dalam minyak atau sebaliknya.


A.    HLB

Tipe suatu emulsi yang dihasilkan bergantung pada sifat emulgator ( zat pengemulsi) yang digunakan dalam suatu formula . karakteristik ini dikenal sebagai Hidrophile – Lipophile Balance (HLB). Umumnya masing-masing zat pengemulsi mempunyai suatu bagian hidrofilik dengan salah satu diantaranya lebih atau kurang dominan dalam mempengaruhi dengan cara yang telah diuraikan untuk membentuk tipe emulsi . suatu metode telah dipikirkan dimana zat pengemulsi dan zat aktif permukaan dapat digolongkan susunan kimianya sebagai keseimbangan HLB  nya . Dengan metode ini setiap zat mempunyai harga HLB atau angka yang menunjukan polaritas dari zat tersebut. Walaupun angka tersebut telah ditentukan  sampai kira-kira 40, kisar lazimnya antara 1 dan 20 . Bahan-bahan yang sangat polar atau hidrofilik angkanya lebih besar daripada bahan-bahan yang kurang polar dan nlebih lipofilik . umumnya zat aktif permukaan itu mempunyai harga HLB yang ditetapkan antara 3 sampai 6 dan menghasilkan emulsi air-dalam-minhyak. Sedangkan zat-zat yang mempunyai harga HLB  antara 8 sampai 18 menghasilkan emulsi minyak – dalam – air . tipe aktivitas yang diharapkan dari surfaktan dengan harga HLB yang telah ditetapkan terdapat dalam tabel berikut :

AKTIVITAS
HLB
ANTIBUSA
1 SAMPAI 3
PENGEMULSI (W/O)
3 SAMPAI 6
ZAT PEMBASAH
7 SAMPAI 9
PENGEMULSI (O/W)
8 SAMPAI 18
PELARUT
15 SAMPAI 20
DETERGEN
13 SAMPAI 15


B.     Stabilitas Emulsi
Umumnya  suatu emulsi dianggap tidak stabil secara fisik jika : (a) fase dalam atau fase terdispersi pada pendiaman cenderung untuk membentuk agregat dari bulatan-bulatan , (b) jika bulatan-bulatan atau agregat dari bulatan naik ke permukaan atau turun ke dasar emulsi tersebut akan membentuk suatu lapisan pekat dari fase dalam, dan (c) jika semua atau sebagian dari cairan fase dalam tidak teremulsikan dan membentuk suatu lapisan yang berbeda pada permukaan atau pada dasar emulsi , yang merupakan hasil dari bergabungnya bulatan-bulatan fase dalam disamping itu suatu emulsi mungkin sangat dipengaruhi oleh kontaminasi dan pertumbuhan mikroba serta perubahan fisika dan kimia lainnya.
Agregasi atau penggabungan. Agregat dari bulatan fase dalam mempunyai kecenderungan yang lebih besar untuk naik ke permukaan emulsi atau jatuh ke dasar emulsi daripada partikel-partikelnya sendiri. Terjadinya bulatan-bulatan seperti itu disebut “creaming” dari emulsi tersebut dan apabila tidak terjadi penggabungan maka akan merupakan proses yang bolak-balik . Kerusakan yang lebih besar daripada creaming pada suatu emulsi adalah penggabungan bulatan-bulatan fase dalam dan pemisahan fase tersebut menjadi suatu lapisan . Pemisahan fase dalam dari emulsi tersebut disebut “pemecahan” (breaking) emulsi dan emulsinya disebut “pecah” atau “retak” (cracked) . Hal ini bersifat reversibel karena lapisan lapisan pelindung di sekitar bulatan-bulatan fase terdispersi tidak ada lagi . Usaha untuk menstabilkan kembali emulsi tersebut dengan pengocokan , dari dua lapisan yang memisah umumnya gagal. Biasanya diperlukan zat pengemulsi tambahan dan pemrosesan kembali dengan mesin yang sesuai untuk dapat memproduksi emulsi kembali . Umumnya harus berhati-hati guna melindungi emulsi terhadap efek dingin dan panas . Apabila terjadi pembekuan kemudian mencair , emulsi akan menjadi kasar dan kadang-kadang pecah . Panas yang berlebihan akan memberikan pengaruh yang sama.



IV.             ALAT DAN BAHAN :

      ALAT : 
·         Lumpang dan Alu
·         Cawan penguap
·         Pipet Tetes
·         Timbangan
·         Beaker Glass
·         Tabung Sedimen
·         Penangas Air
·         Gelas ukur

BAHAN :
·         Parafin Liquid
·         Tween 80
·         Span 80
·         Air
·         Sudan III
·         Methylene Blue


V.                CARA KERJA :

1.      Tentukan HLB butuh minyak yang sesuai dengan yang diperlukan dalam pembuatan emulsi (HLB 5,6,10,dan12) dengan formula :
·          Parafin liq : 30%
·         Tween 80      5%
·         Span 80     
·         Air              : Ad 50ml

2.      Buat;ah satu seri emulsi dengan HLB butuh masing-masing 5,6,10,dan 12.
3.      Hitung jumlah tween 80 dan span 80 yang dibutuhkan untuk masing-masing harga HLB butuh.
4.      Timbang masing-masing bahan yang diperlukan untuk setiap formula.
5.      Panaskan Lumpang dan alu dengan cara menambahkan sejumlah air panas kedalamnya.
6.      Campurkan Parafin liq dan span (Fase minyak) kemudian panaskan diatas penaNgas air.
7.      Panaskan sejumlah air kemudian campurkan dengan tween 80 yang sebelumnya sudah dimasukan kedalam lumpang (fase air)
8.      Tambahkan fase minyak sedikit demi sedikit kedalam fase air sambil terus diaduk
9.      Emulsi yang sudah homogen dimasukkan kedalam tabung sedimentasi, dan diberi tanda masing-masing HLB.
10.  Amati parameter kestabilan emulsi dengan cara menghitung volume sedimentasi (F) dengan menggunakan persamaan  :
            F = Vu/Vo
            Vu = volume sedimentasi
            Vo = volume awal


VI.             TABULASI DATA :

VII.          PERHITUNGAN :

Formula :
Parafin liq  = 30%
Tween 80 
Span 80          5%
Air add 50 ml

·     HLB butuh 5
          Tween 80                   15                           0.7                          ( 0.7 : 10.7 ) x 100 %  =  6.5420  %                                               
                                                                5                             
  Span 80                      4.3                          10                            ( 10 : 10.7 ) x 100 %  = 93.458 % 
Emulgator =  ( 5 : 100 ) x 50  = 2,5 g
ween 80     =  6.5420% x 2,5 = 0.1635 g
Span 80       =  93.458 % x 2,5 = 2,3364 g
Parafin        =  30% x 50  = 15 g
Air sisa         =  50 – ( 0,1653 + 2,3364 + 15 ) = 32,5 ml

·   HLB butuh 6

Tween 80                   15                           1.7                          ( 1.7 : 10.7 ) x 100 %  = 15.887 %

                                                       6
                                      
Span 80                       4.3                          9                              ( 9 : 10.7 ) x 100 % = 84.112 %

Emulgator =  ( 5 : 100 ) x 50  = 2.5 g
Tween 80   = 15.887 % x 2.5  = 0.3972 g
Span 80       = 84.112 % x 2.5  = 2.1028 g
Parafin        = 30 % x 50  = 15 g
Air sisa         = 50 – (0.3972 + 2.1028 + 15) = 32.5 ml

·  HLB butuh 10

          Tween 80                   15                           5.7                          ( 5.7 : 10.7 ) x 100 % = 53.271 %

                                                             10

      Span 80                       4.3                          5                              ( 5 : 10.7 ) x 100 % = 46.728 %
     
Emulgator =  ( 5 : 100 ) x 50  = 2.5 g
Tween 80   = 53.271 % x 2.5 = 1.3318 g
Span 80       = 46.728 % x 5    = 1.1682g
Parafin        = 30 % x50           = 15 g
Air sisa         = 50 - (1.3318 + 1.1682 + 15) = 32.5 ml


·  HLB butuh 12

          Tween 80                   15                           7.7                          ( 7.7 : 10.7 ) x 100 % = 71.962 %

                                                                12
         
          Span 80                       4.3                          3                              ( 3 : 10.7 ) x 100 % = 28.037 %
         
Emulgator =  ( 5 : 100 ) x 50  = 2.5 g
Tween 80   =  71.962 % x 2.5 = 1,8 g
Span 80       =  28.037 % x 5 = 0,7 g
Parafin        =  30 % x 50         =  15 g
Air sisa         = 50 – (1.8 + 0.7 + 15 ) = 32.5 ml





PARAMETER KESTABILAN EMULSI
F = Vu / Vo

•            Satu jam pertama                              
HLB 5
F= 38,5 / 38,5 = 1

HLB 6
F= 38,5 / 38,5 = 1

HLB 10
F= 41,5 / 41,5 = 1

HLB 12
F= 42,5 / 42,5 = 1

•  Hari Pertama
HLB 5
F=  26,5 / 38,5 = 0,69

HLB  6
F= 30,5 / 38,5 = 0,79

HLB 10
F= 31,5 / 41,5 = 0,76

HLB 12
F= 23,5 / 42,5 = 0,55

•  Hari Kedua
HLB 5
F= 26,5 / 38,5 = 0,69

HLB  6
F= 30,5 / 38,5 = 0,79

HLB 10
F= 31 / 41,5 = 0,75

HLB 12
F= 22 / 42,5 = 0,52

•  Hari Ketiga , keempat, kelima
HLB 5
F= 26,5 / 38,5 = 0,69

HLB 6
F= 30,5 / 38,5 = 0,79

HLB 10
F= 31 / 41,5 = 0,75

HLB 12
F= 21 / 42,5 = 0,49

•  Hari Keenam
HLB 5
F= 24,5 / 38,5 = 0,64

HLB 6
F= 30,5 / 38,5 = 0,79

HLB 10
F= 31 / 41,5 = 0,75

HLB 12
F= 21 / 42,5 = 0,49


·   Hari Ketujuh
HLB 5
F= 22,5 / 38,5 = 0,64

HLB 6
F= 30,5 / 38,5 = 0,79

HLB 10
F= 31 / 41,5 = 0,75

HLB 12
F= 20,5 / 42,5 = 0,48





VIII.       PEMBAHASAN

·   Untuk membuat suatu emulsi dibutuhkan adanya emulgator, dalam percobaan ini emulgator yang digunakan adalah Tween 80 dengan HLB butuh 15,0 (bersifat hidrofil) dan Span 80 (bersifat lipofil).
·   Proses penggerusan yang kuat dan konstan dalam pembuatan emulsi ini sangat penting, untuk memperkecil partikel-partikel dari fase minyak dan air. Sehingga memudahkan partikel-partikel tersebut terdispersi dalam fase kontinunya.
·   Emulsi yang stabil dapat terjadi apabila ada kesetaraan antara HLB surfaktan dan HLB butuh minyak. HLB butuh minyak adalah HLB karakteristik yang menurut grifin setara dengan HLB surfaktan yang dapat membentuk emulsi tipe tertentu yang stabil.
·   Diperlukan suhu ± 700  untuk membuat emulsi , hal ini dimaksudkan untuk menurunkan viskositas dari partikel-partikel minyak dan menurunkan tegangan antar muka sehingga dapat membentuk corpus dengan fase air.
·   Fase air dipanaskan di waterbath karena pada suhu yang tinggi dapat menurunkan viskositas dan tegangan permukaan emulsi sehingga masing-masing fase mudah untuk dibuat dalam tetesan-tetesan halus dan emulsi pun dapat dengan mudah terbentuk.
·   Menurut hasil percobaan semua emulsi yang dibuat menunjukkan tipe (O/W). Pada saat pengujian dengan Sudan III, emulsi yang telah tersedia ditetesi dengan Sudan III lalu diamati dengan mikroskop, fase lipofilnya akan berwarna merah. Pada saat pengujian dengan menggunakan metilen blue, fase hidrofilnya akan berwarna biru, sedangkan lipofilnya tidak berwarna.
·   Dari hasil pengamatan selama 7 hari, semua emulsi bersifat kurang stabil. Pada HLB 5, 10, dan 12 terjadi pengkriman. Peristiwa tersebut terjadi jika densitas fase terdispersi lebih kecil dari fase kontinu, yang umumnya terjadi pada emulsi O/W. kecepatan sedimentasinya negative sehingga terjadi pengkriman ke atas. Pada HLB 6 terjadi pemecahan , itu mungkin terjadi karena faktor lumpang dan alu yang kurang panas saat penggerusan atau juga karena proses penggerusan yang kurang kuat dan penambahan fase minyak yang terlalu lama. Pengkriman berbeda dengan pemecahan karena pengkriman merupakan proses reversible (apabila dikocok akan membentuk emulsi kembali ) sedangkan pemecahan bersifat ireversibel. Emulsi dengan HLB butuh 5, 10, dan 12 bersifat reversibel sedangkan emulsi dengan HLB butuh 6 bersifat ireversibel.
·   Berdasarkan literature (Martin 5th  , edisi Indonesia hal 563) RHLB  Parafin untuk emulsi O/W adalah 10, dan RHLB Parafin untuk Emulsi W/O adalah 4. Karena semua emulsi yang dibuat merupakan tipe O/W maka seharusnya Emulsi yang stabil kita dapatkan dari HLB butuh 10. Namun pada percobaan nilai F yang paling mendekati 1 ada pada emulsi dengan HLB 6. Hal itu mungkin terjadi dikarenakan kesalahan dari praktikan dalam membuat emulsi dan juga dapat dikarenakan kesalahan dari alat-alat yang digunakan.

IX.             KESIMPULAN
·   Dari semua emulsi yang dibuat , emulsi yang paling stabil adalah emulsi dengan HLB butuh 6, karena nilai F nya paling mendekati 1
·   Semua emulsi yang dibuat memiliki tipe O/W atau minyak dalam air.

X.                DAFTAR PUSTAKA
·   Ansel, Howard. 1989. Pengantar Bentuk Sediaan Farmasi , edisi keempat. Jakarta: Universitas Indonesia Press.
·   Martin, Alfred, dkk. 2008. Farmasi Fisika dan Ilmu Farmasetika, edisi kelima. Jakarta: EGC